JAKARTA I Rakyat kecil kembali menjadi korban dalam sistem yang semakin hari kian dikendalikan oleh para pemilik modal, Sabtu (2/8/25).
Di tengah gempuran krisis mulai dari harga sembako yang terus melambung, biaya pendidikan yang mencekik leher
Hingga sulitnya mencari pekerjaan, pertanyaan yang kian nyaring menggema “siapa sebenarnya yang memegang kendali atas negeri ini?
Isu tentang menguatnya oligarki dapat diyakni kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang kaya dan berpengaruh
Kini bukan sekadar teori. Ia telah menjelma menjadi kenyataan yang membebani rakyat dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah
Kebijakan-kebijakan publik yang seharusnya berpihak pada wong cilik, justru kerap kali menguntungkan korporasi besar, konglomerat, dan elite politik.
“Kalau kita bicara keadilan, sudah lama hilang dari peradaban politik kita,” kata Dewi, seorang buruh.
Ia menuturkan bagaimana pupuk langka, harga gabah dan hasil panen tidak stabil, mungkin oleh para tengkulak yang terhubung dengan jaringan perdagangan besar.
“Yang kaya tambah kaya, kita tetap di sini, ngelus dada,” tambahnya.
Fenomena ini bukan lagi cerita dari pinggiran. Di pusat kekuasaan, hubungan mesra antara pengusaha dan politisi semakin terang-terangan.
Banyak partai politik berubah menjadi kendaraan elite, untuk mempertahankan dominasi ekonomi politik mereka.
Pemilu hanya menjadi panggung rebutan kekuasaan antar elite, bukan sarana rakyat menyalurkan suara dan harapan.
Disinilah para aktivis menyebut situasi ini sebagai bentuk “kemunduran demokrasi.” Ia menegaskan, “Jika oligarki terus dibiarkan menguasai semua lini.
Maka demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara lima tahunan. Yang menentukan nasib bangsa, bukan lagi rakyat, tapi uang.”
Fakta-fakta di lapangan semakin memperkuat sinyal bahaya ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jurang ketimpangan ekonomi di Indonesia, terus melebar dalam lima tahun terakhir.
Indeks Gini memburuk tanda bahwa distribusi kekayaan semakin timpang. Ketika rakyat bersusah payah menabung, demi bisa makan layak, para elite justru menikmati proyek-proyek triliunan rupiah.
Tak hanya urusan perut, pelayanan publik pun ikut terdampak. Dian, ibu rumah tangga, mengeluhkan biaya pendidikan anaknya yang terus merangkak naik.
“Katanya sekolah gratis, tapi pungutannya tetap saja banyak. Kita pasrah, takut anak nggak bisa sekolah,” ujarnya lirih.
Meski demikian, di tengah kegelapan sistem, benih perlawanan perlahan mulai tumbuh. Berbagai gerakan sosial, kelompok tani, hingga aliansi masyarakat sipil
Kini mulai menyatukan suara menolak sistem yang timpang. Gerakan ini memang belum sekuat arus utama, namun harapan selalu punya tempat.
Masyarakat menilai bahwa melawan oligarki bukan perkara mudah. “Tapi bukan berarti mustahil.
Rakyat harus sadar bahwa kekuasaan sejati ada di tangan mereka. Perubahan tidak turun dari atas, tapi lahir dari kesadaran kolektif di bawah,” tegasnya.
Kini, kita semua dipaksa untuk bertanya, untuk siapa negara ini bekerja? Jika oligarki terus dibiarkan bercokol dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan
Maka penderitaan rakyat hanya akan menjadi efek samping permanen dari sistem yang tidak adil.
Media akan terus mengawal suara-suara yang terpinggirkan. Sebab di balik angka statistik, ada air mata, harapan, dan perjuangan nyata dari rakyat yang menuntut keadilan.(red)