JAKARTA I Agus Kliwir pangilan akrab sebagai Ketua Umum Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (RPPAI) menyoroti maraknya kasus tawuran yang melibatkan anak di bawah umur.
Fenomena ini dinilai memprihatinkan, karena tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga berdampak panjang pada masa depan anak.
Ketum RPPAI, Agus Kliwir mengatakan bahwa tindakan tawuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur memang termasuk kategori tindak pidana, namun penanganannya tidak bisa disamakan dengan pelaku dewasa.
“Anak-anak yang terlibat tawuran bisa diproses hukum, tetapi harus melalui mekanisme khusus sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Fokusnya bukan menghukum, melainkan membina. agar mereka tidak mengulangi perbuatan serupa,” jelas Agus Kliwir saat berbincang – bincang bersama wartawan, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, anak yang berusia 12 hingga 18 tahun masih bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
Namun untuk anak di bawah 12 tahun, proses hukum tidak berlaku seperti orang dewasa. Mereka hanya dapat dikenai tindakan sosial dan pembinaan oleh lembaga sosial atau dikembalikan kepada orang tua di bawah pengawasan pihak berwenang.
Agus Kliwir menambahkan, penanganan anak pelaku tawuran, seharusnya tidak berhenti pada proses hukum saja.
Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat harus terlibat dalam upaya pencegahan dan rehabilitasi.
“Banyak anak ikut tawuran karena pengaruh lingkungan, tekanan kelompok, atau masalah keluarga.
Jadi yang perlu dibenahi bukan hanya perilaku anak, tapi juga sistem sosial di sekitarnya,” lanjut Ketua Umum RPPAI.
Ia juga menyoroti pentingnya penerapan diversi, yakni penyelesaian perkara di luar pengadilan yang dilakukan melalui mediasi antara pelaku, korban, dan keluarga.
Diversi ini diatur dalam UU SPPA dan menjadi langkah utama, untuk menghindarkan anak dari hukuman penjara.
“Kalau kasus tawuran tidak menimbulkan korban jiwa atau kerugian berat, aparat penegak hukum sebaiknya mengedepankan diversi.
Anak bukan pelaku kejahatan sejati, mereka korban dari situasi sosial yang tidak sehat,” kata Agus Kliwir.
Sementara itu, RPPAI juga mendorong sekolah dan pemerintah daerah, untuk memperkuat pendidikan karakter dan pengawasan lingkungan sekolah. agar potensi konflik antar pelajar dapat diminimalisir
“Lingkungan sekolah dan keluarga adalah dua benteng utama. Jika keduanya lemah dalam pengawasan dan pembinaan, anak akan mudah terjerumus ke perilaku negatif,” tambahnya.
Ketua Umum Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (RPPAI) berharap aparat kepolisian yang menangani kasus tawuran anak dapat bekerja dengan pendekatan kemanusiaan, bukan represif.
Karena pada dasarnya, setiap anak yang berhadapan dengan hukum masih memiliki hak untuk dilindungi, dibina dan dididik, agar kembali ke jalur yang benar.
“Negara wajib hadir untuk melindungi masa depan mereka. Jangan sampai anak-anak ini justru kehilangan arah karena sistem hukum yang tidak berpihak,” jelas Ketua Umum RPPAI.
Dengan meningkatnya kasus tawuran di berbagai daerah, RPPAI menyerukan kolaborasi lintas lembaga, untuk memperkuat kesadaran masyarakat bahwa pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan.(red)













